KaltengBicara.com-Palangka Raya. RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau disingkat KUHP terus menuai polemik, karena pada beberapa pasal yang termaktub dalam pasal-pasal RUU KUHP ini sarat akan usaha pembungkaman terhadap aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian. Sehingga mengebiri kerangka demokrasi yang berlaku di Negara Indonesia, maka akan bermuara pada terbentuknya rezim totaliter dan menuai kontradiksi dengan pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi : “Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapatan dan berekspresi, sebagai salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia”.
Maka dari itu PMKRI Cabang Palangka Raya menyoroti pasal-pasal yang menuai polemik tersebut yaitu yang pertama, pasal 217 tentang Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden, pasal ini dirasa masih bersifat umum tidak ada spesifikasi yang jelas sebagai tolak ukur, hanya melalui aduan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden, sehingga sangat mudah dipelintir atau sebagai dalil untuk menjatuhkan seseorang dalam sanksi hukum baik disengaja maupun tidak sengaja karena menyerang martabat ataupun kehormatan Presiden atau Wakil Presiden, sehingga juga akan menimbulkan rasa cemas masyarakat untuk menyampaikan pendapat terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Pasal ini juga akan berbenturan dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hal mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau penecemaran nama baik”.
Pasal 256 tentang penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demontrasi yang teridentifikasi sebagai bahan aparat keamanan dalam melakukan penindasan terhadap rakyat apabila melakukan aksi membela atas hak kepemilikan tanah atau sebagainya, seperti dengan aksi dadakan yang dilakukan oleh masyarakat yang menjadi korban akibat penggusuran paksa. Seperti pada penolakan invasi lahan sawit oleh masyarakat adat di Laman Kinipan Kabupaten Lamandau, aksi di wadas, aksi ibu-ibu di Besipae NTT, dll. Ini tentu akan menimbulkan penindasan sistematis dan terstruktur oleh pemerintah. Yang terakhir menurut PMKRI Cabang Palangka Raya pasal yang menuai polemik yaitu pasal 351 Bagian Kesatu tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga Negara, pasal ini tentu menciptakan herd imunity terhadap pemegang kekuasaan umum dan lembaga Negara, sehingga pemegang kekuasaan umum dan lembaga Negara akan kebal hukum dan anti kritik apabila RUU ini disahkan. Tambah lagi tidak ada spesifikasi yang jelas sebagai tolak ukur dalam diksi penghinaan untuk menjerat oknum yang menghina pemegang kekuasaan umum dan lembaga Negara.
Dalam pasal-pasal berpolemik diatas dapat disimpulkan akan berpotensi dalam usaha pembungkaman aspirasi rakyat terhadap kebijakan yang dikeluarkan Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian, serta menciptakan herd imunity pada tubuh Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian yang bermuara pada kebal hukum dan anti kritik. Ini jelas bertentangan dengan asas hukum yaitu “equality before the law” semua pihak sama di hadapan hukum.
Obi Seprianto, selaku ketua PMKRI Cabang Palangka Raya menegaskan apabila pasal-pasal diatas tidak dicabut maka sangat berbahaya mengancam demokrasi, bahkan patut dicurigai menjadi ancaman bagi pergerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sehingga sangat berpotensi sebagai bibit disintegrasi bangsa.
Obi Seprianto juga mengingatkan walaupun pembahasan RKUHP ditunda, mengingat sejak 8 juli- 15 agustus 2022 DPR memasuki Masa Reses. Sehingga wakil-wakil rakyat dimasa reses ini, bisa benar-benar hadir ditengah masyarakat, berdiskusi, membuka telinga, dan nantinya menindaklanjuti aspirasi berkaitan dengan polemik yang terjadi salah satunya RKUHP dan permasalahan krusial lainnya, agar perwujudan perwakilan rakyat dalam pemerintah benar-benar ada, bukan perwakilan penguasa didalam pemerintah.
“Momentum reses ini dapat menjadi ruang wakil-wakil rakyat untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, salah satunya polemik yang terjadi terkait RKUHP dan permasalahan krusial lainnya” tandasnya.
Rizky Pratama, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Palangka Raya menyampaikan penolakan terhadap pasal yang disoroti PMKRI Cabang Palangka Raya merupakan pembungkaman maupun penindasan secara sistematis dan terstruktur oleh Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian.
“Pasal ini jelas tidak berpihak kepada rakyat, Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian berusaha menciptakan herd imunity terhadap kritikan dan bermuara pada sistem pemerintah yang totaliter, ini sama saja mengebiri kerangka demokrasi yang dijunjung di Negara kita Indonesia, maka dari itu pasal ini wajib ditolak” tegasnya saat ditemui awak media. /// (san)