KaltengBicara.com – Jakarta. Program pemerintah terkait food estate atau lumbung pangan terletak di wilayah Kalimantan Tengah dan Papua. Program food estate disebut bukannya memberikan solusi soal pangan, tapi justru menambah masalah baru bagi Indonesia.
Ketua bidang Agraria dan Maritim (Amar) Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Barken Rahayaan menerangkan bahwasanya proyek yang menelan biaya miliyaran rupiah dari APBN itu gagal dan justru memperparah krisis iklim.
“Proyek food estate tidak hanya merusak lahan hutan dan mata pencaharian masyarakat adat tapi juga terkesan terburu-buru dan buruk dalam perencanaannya serta tidak sesuai dengan kondisi lokal daerah tersebut.” Barken.
Menurutnya luas tanam program strategis nasional (PNS) Food Estate di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai 44.135 hektare itu tahun anggaran 2022-2021, sedangkan tahun 2022 di Kabupaten Kapuas 1.175,63 hektare. Dan area di Kabupaten Gunung Mas yang dibabat habis kurang lebih 700-an hektare untuk program Food Estate singkong, Presiden dengan menunjuk Menteri Pertahanan (MENHAN) untuk memimpin Proyek tersebut. Sementara masyarakat di desa-desa yang berada di hilir sejak area tersebut dibuka mengalami kebanjiran yang berulang-ulang.
Mengutip dari laporan Green Peace Indonesia merilis studi kasus yang terjadi di dua wilayah tersebut tertanggal 10 November 2022, yang hasilnya bukan food estate yang terbentuk, tapi kegagalan yang ditemukan di hutan dan lahan gambut.
Hutan-hutan yang semula menutupi kabupaten Gunung Mas wilayah Kalimantan Tengah itu, kini sudah habis gundul dan diganti dengan kebun singkong yang tumbuhnya kerdil dengan batang yang sangat kecil. Dalam laporannya, Green Peace mengungkapkan bagaimana program lumbung pangan akan memicu hilangnya keanekaragaman hayati dan membuat emisi gas rumah kaca.
“Duit negara yang sudah dihabiskan untuk proram yang tidak berfaedah. Program food estate atau lumbung pangan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah, namun dijawab dengan masalah. Singkong itu tumbuh dengan batang-batang yang kecil dan hasil yang gagal, bukan dapat keuntungan malah hutan di Kabupaten Gunung Mas itu jadi gundul sekarang karena pohon-pohon besarnya ditebang” ujar Barken.
Pada 2020, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) memperingatkan para pemimpin dunia tentang kemungkinan pandemi Covid-19 dapat menyebabkan gangguan pada rantai pasokan makanan serta pendapatan.
“Mengutip peringatan FAO, Presiden Jokowi meluncurkan program lumbung pangan dalam skala besar, jutaan hektare, yang mana sebagian besar merupakan hutan adat, ditandai untuk dikonversi – sebagian besar untuk sawah dan singkong,” tulis laporan tersebut.
“Merujuk pada laporan Ketahanan Pangan PBB yang mengidentifikasi perubahan iklim sebagai pendorong kerawanan pangan global, kami berpendapat bahwa alih-alih memperbaiki beban ganda kekurangan gizi di Indonesia, program lumbung pangan justru akan memperburuk ketahanan pangan nasional,” ujar Barken Kabid Amar PP GMKI.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memberikan arahan terkait pembuatan saluran air dan pengolahan lahan pada food estate di Kalimantan Tengah yang akan ditugaskan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sehingga Kementerian Pertanian dapat menggunakan lahan yang telah disiapkan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan terkait dengan tingkat kemajuan pengembangan food estate di Nusa Tenggara Timur. Pada Kabupaten Belu dilakukan pengembangan food estate seluas 559 hektare dengan komoditas berupa jagung.
Kemudian, pada Kabupaten Sumba Timur juga ditargetkan untuk pengembangan food estate Sorgum seluas 1.000 hektare dan pada Kabupaten Sumba Tengah juga dilakukan pengembangan mencapai 10.000 hektare. Pemerintah juga akan terus memberikan atensi serta dukungan terkait ketersediaan air dan pupuk yang memadai.
“Progres food estate di Kalimantan Tengah yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian sekitar 60.000 hektare di mana tahun 2020 sebanyak 30.000 hektare. Di tahun 2021 sebanyak 14.000 hektare, dan ekstensifikasi sebanyak 16.000 hektare,” ungkap Menko Airlangga pada Rabu, (5/10) tahun lalu.
Pada kenyataannya, dari temuan Green Peace Indonesia, lahan tersebut justru terbengkalai dan menyebabkan perubahan iklim di lokasi sekitar.