KaltengBicara.com, Opini – Jakarta. Kontestasi pemilu 2024 dalam menjalankan kampanye yang sehat dan berkualitas. Kita perlu dan harus mengingatkan bagi para kontestan pemilu agar menjalankan kampanye yang semakin berkualitas dan menyehatkan demokrasi, bukan kampanye yang merusak tatanan bangsa ini.
Para kontestean pemilu harus memulai kampanye yang mengurangi mobilisasi massa dan manfaatkan teknologi informasi. Penggunaan teknologi informasi ini diharapkan dapat melahirkan kampanye yang berintegritas yang menolak penggunaan politik SARA dan politik identitas, yang lebih mengedepankan politik ide dan gagasan, karena yang ingin kita bangun bukan demokrasi pengkultusan, bukan demokrasi idola, tapi demokrasi gagasan.
Menurut pengukuran EIU Democracy Index, Indonesia berada di kategori “Flawed Democracy” dengan skor 6,71 menempati urutan ke-52 di dunia dari total 165 negara. Merangkum dari EIU Democracy Index dan Freedom in the World, sudah ada beberapa indeks demokrasi Indonesia yang dinilai sangat baik, yaitu fungsi pemerintah, partisipasi politik, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, proses pemilu, pluralisme dan partisipasi politik, fungsi pemerintah, otonomi personal dan hak individu.
Akan tetapi ada beberapa variabel Indonesia yang masih buruk, yaitu kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak bersosialisasi dan berogranisasi, aturan hukum, dan budaya politik.
Bahwa dari semua variabel yang paling terlemah adalah budaya politik. “Budaya politik ini sangat berpengaruh dengan politik identitas, karena variabel pertamanya adalah konsensus dan kohesi politik. Empat variabel ini menjadi pekerjaan rumah dan tantangan kita menuju pemilu 2024.
Kalau mencermati dari indeks tersebut diatas maka pada dasaranya Indonesia sudah berada di peta jalan yang benar. “Indonesia sudah betul-betul berevolusi dari pemerintahan yang non-demokratis sampai tahun 1998. Lalu dengan 5 kali pemilu, indeks Indonesia meningkat secara signifikan. Tapi jangan dilupakan, karena ada pandemi Covid-19, semua negara mengalami regresi demokrasi. Juga tidak menjamin demokrasi matang, dengan serta merta menghilangkan politik identitas, ini sebagaimana contoh di Amerika Serikat dan Australia.
Di tahun 2024, Indonesia akan melaksanakan perhelatan politik yang besar, pemilu nasional pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD, dan juga Pilkada serentak. Pemilu serentak ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. “Bukan hanya sekedar menjalankan mandat reformasi tahun 1998, tapi kita harus dapat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan demokrasi yang sudah matang.
Situasi yang kita hadapi saat ini membutuhkan komitmen persatuan dari seluruh pihak, soliditas seluruh elemen bangsa memerlukan pemerintahan yang tenang dan kuat agar dapat bekerja sungguh-sungguh, memerlukan stabilitas politik dan keamanan untuk mengatasi tantangan di masa yang akan datang. “Karena itu penyelenggaraan pemilu yakni KPU dan Bawaslu melaksanakan tugasnya berdasarkan UU agar pada saat pemilu saat kampanye ada aturan yang tegas mengenai tidak digunakannya politik identitas. Namun tentu saja regulasi dari KPU dan Bawaslu tidak cukup, sangat diperlukan seluruh dukungan dari elemen bangsa untuk ikut berpartisipasi melakukan pengawasan, agar politik identitas tidak terjadi seperti yang perna di sampaikan oleh Presiden Jokowi.
Politik identitas berpotensi pada memecah belah bangsa dan menghambat perkembangan demokrasi. Padahal dampak politik identitas tidak hanya berpengaruh pada miskinnya ide dan gagasan yang semestinya menjadi ide dan gagasan, kampanye kontestasi pemilu. Dampak politik identitas, dapat menjadi lebih buruk adalah memecah belah bangsa dan memperhambat perkembangan demokrasi di Indonesia. /// (OPINI).
Penulis Opini : Epafras Tuidano – Sekretaris Fungsional Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) Masa Bakti 2022-2024.