WhatsApp Image 2024-11-19 at 18.26.50
WhatsApp Image 2024-11-19 at 18.02.38
WhatsApp Image 2024-11-19 at 18.26.50
WhatsApp Image 2024-11-19 at 18.02.38
WhatsApp Image 2024-11-03 at 10.25.36
WhatsApp Image 2024-11-01 at 18.28.09
previous arrow
next arrow

Festival Desa Hari Tani 2024: Petani Dayak Bangkit Lawan Ekspansi Sawit Demi Kedaulatan Pangan Lokal

Yanedi Jagau "bukankah sikap ini suatu keadaan mabuk ?"

KUALA KURUN, – Kedaulatan Pangan lokal di Kalimantan Tengah terancam punah beriringan hadirmya industri perkebunan sawit yang kian masif mengepung ‘menyawitkan’ Desa. Rimba yang menjadi sumber kehidupan dan identitas masyarakat lokal Dayak rentan beralih fungsi termakan iming semu kaki tangan perusahaan oligarki  perkebunan sawit bahkan memiliki resiko tanah mereka dirampas dikuasi oleh perusahaan, hal itu mengancam terjadinya konflik agraria dan sosial yang kian parah.

Kegelisahan tersebut menjadi ide dasar terselenggaranya Festival Desa dalam rangka memperingati Hari Tani 2024 di SDN Samui, Desa Tumbang Samui, Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Sabtu 12 Oktober 2024. Ratusan Generasi muda hingga orang tua antusias dan aktif dalam terselenggaranya pagelaran para petani yang mencakup di Desa Luwuk Tukau, Putat Durei, Tumbang Mantuhe, Tumbang Oroi, Tumbang Samui dan Kelurahan Tehang.

WhatsApp Image 2024-11-19 at 18.02.38
WhatsApp Image 2024-11-19 at 18.26.50

Meskipun jalan antar Desa masih terjal, para petani rela berbondong-bondong datang di festival, seperti yang dilakukan oleh Simens Petani dari Putat Durei, dengan motor bututnya dia rela membawa lesung padi yang cukup berat dan peralatan lainnya datang sebelum acara dimulai. Mereka dengan kesadaran datang tanpa dijemput.

Beragam festival pangan seperti, bibit rimbang, buah rimbang, Kacang Panjang atau Saretak dalam bahasa lokal, Mangenta, Tape Parei, Malutu, Minuman Tradisional Baram, Gagang Pisau (Pulang Pisau), Lontong atau Lanjung, Madu Kalulut, produk olahan pangan lokal masyarakat dampingan Borneo Institute hingga Karungut berlangsung meriah dan penuh makna.

Selain itu para generasi muda di Kecamatan Manuhing Raya juga melakukan penanam pohon buah Sirsak, Jengkol, dan Rambutan pada sore hari hari di halaman sekolah. dilanjutkan dengan lomba babak final cerdas cermat dan perkemahan ‘Uluh Lewu’.

Dalam acara perkemahan uluh lewu, generasi muda, para guru bahnkan orang tua yang hadir menonton bersama film berjudul Asimetris karya Watcdoc besutan Dandhy Laksono. Nonton bersama tersebut merupakan proses penyadaran masyarakat akan adanya harga mahal yang harus dibayar dalam menanam kelapa sawit.

80 persen hasil perkebunan sawit masyarakat habis untuk melakukan perawatan dan pemupukan di lahan skala kecil 1-4 hektar. Belum lagi limbah perkebunan sawit yang mengancam sumber mata air dan sungai-sungai di sekitarnya yang berdampak pada ekologis lingkungan.

Konflik agraria dan sosial sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, bahkan di Kalimantan Tengah seorang pemuda bernama Gijik meninggal dunia akibat peluru tajam oknum aparat dan satu orang mengalami cacat akibat konflik agraria di Kabupaten Seruyan tak lama ini.

Melalui keterangan tertulisnya Ketua Panitia Festival Desa Hari Tani 2024, Pritendie mengatakan Festival Desa Hari Tani 2024 kali ini mengangkat tema “Malan Itah Besuh, Dia Malan Itah Deruh“ atau “Bertani Kita Teguh, Tidak Bertani Kita Runtuh”.

“Perayaan ini diharapkan menjadi pemacu semangat bagi para Petani dan refleksi bagi petani Dayak, terutama anak muda di Kalimantan Tengah untuk kembali pulang membangun desa sembari menanam, bertani dan melanjutkan kearifan nenek moyangnya didalam pemuliaan benih lokal,” Jelasnya.

“Karena beberapa tahun terakhir nampak terlihat pergeseran signifikan dalam kebijakan pemerintah yang membatasi praktik perladangan tradisional, kebijakan yang lebih pro pada investasi perkebunan besar swasta dan investasi tidak ramah lingkungan, membuat nasib dan penghidupan petani di desa pada situasi yang memprihatinkan untuk mendapat penguatan dan penyadaran. Negara melewati Pemerintahan dari berbagai lapisan dan tingkatan perlu membuka menunjukan kehadirannya secara serius untuk mendukung petani lokal berdaulat kembali,” tambah Pritendie.

Aktifnya generasi muda dikegiatan Festival Desa Hari Tani 2024 itu menunjukan masih ada harapan kembalinya kejayaan petani lokal menanam pangan lokal mengahadirkan ekonomi alternatif di arus pasar yang saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh para cukong. Sehingga tak hanya ekonomi yang berdaulat, para petani turut menjaga kedaulatan pangan dan kebudayaan warisan turun-temurun suku Dayak.

Sementara itu Direktur Borneo Institute, Yanedi Jagau dalam pidato sambutannya mengatakan saat ini Desa-desa berhadapan dengan gencarnya ekspansi perkebunan sawit yang kian meluas di Kalimantan Tengah tak terkecuali di Kecamatan Manuhing Raya, Gunung mas. Sehingga perlu adanya langkah konkret untuk menghentikannya.

Borneo Institute sudah memulai kerja-kerja nyata bagi masyarakat dengan pendampingan budidaya ikan patin, ternak ayam, pemberdayaan masyarakat menganyam rotan menjadi produk kerajinan hingga rumah benih atau bank benih lokal yang dinamakan Pasah Harati bertujuan melestarikan bibit lokal.

“Sekarang kita berhadapan dengan pilihan apakah Desa Hutan atau Desa Sawit. Sudah banyak desa-desa yang dikepung oleh perkebunan sawit. Oleh karena itu kita bersama masyarakat dan kolaborasi dengan pemerintah perlu upaya stop ekspansi Sawit di Desa,” jelasnya.

Kegitan bertani sudah berubah bentuk dari masa ke masa, sebagian oknum pejabat baik dari pusat dan di daerah memandang modernisasi pertanian sama halnya dengan menghilangkan konsep petani kecil dan tradisional skala desa. Hadirnya ‘modernitas’ pertanian menurut mereka juga akan melupakan tradisi luhur masyarakat Dayak seperti contoh Manugal, Malan manana, manyeha petak.

Sebuah tradisi masyarakat desa bergotong royong dalam berladang atau malan dalam bahasa Dayak Ngaju saat melubangi tanah dengan kayu berujung runcing atau alatnya disebut Tugal, dianggap kebudayaan lama yang tak pantas muncul di era kekinian. Para petani justru dihujani dengan rayuan yang menggiurkan dari iming-iming perkebunan Sawit, terlihat dari di pekarangan rumah terlihat beberapa masyarakat menanam Sawit bahkan di bendungan atau DAM yang mengalirkan mata air bersih sudah beberapa Sawit ditanam. Menurutnya, bukankah sikap ini suatu keadaan mabuk ?

“Saya ingin mengatakan, seharusnya program pertanian skala besar yang mengatasnamakan program strategis nasional (PSN) yang digagas pemerintah dan kerjasama dengan perusahaan besar swasta semestinya tidak boleh lagi merampas tanah warga masyarakat desa. Semestinya program pemerintah lebih banyak belajar dari kegagalan baik yang sekarang maupun masa lalu. Kenyataan memperlihatkan program pertanian pemerintah sebagian besar justru melakukan sawitisasi desa/mengganti jenis tanaman padi ladang dengan tanaman sawit, hal itu akan mempercepat krisis lingkungan hidup, berkurangnya sumber mata air desa, dan masa kemarau rentan terbakar. Meninggikan polusi dan mengeringkan tanah desa yang sebelumnya subur. Petani di desa yang masih berhutan sebaiknya didukung untuk mengembangkan tanaman yang sudah mereka kembangkan, jangan memperkenalkan tanaman baru yang membawa konsekuensi yang lebih banyak. Kebijakan pertanian dan perkebunan serta kehutanan yang dipimpin oleh pemerintah semestinya makin banyak membuka partisipasi petani lokal tradisional, membangun industri yang ramah dengan lokalitas . Program Pemerintah bukanlah penyedia dan fasilitator bagi perampasan tanah oleh korporasi. PSN yang sentralistik mesti diubah, petani bukanlah objek yang mesti nunut manut pada perintah komando PSN. Dimanapun dunia ini, di berbagai belahan dunia yang namanya petani mesti mendapatkan perhatian dan subsidi dari pemerintah. Baik itu subsidi peralatan, bibit lokal dan pengetahuan teknis dan strategis.PSN tentang pangan tak perlu banyak propaganda dengan program yang sukar dimengerti para petani kecil, salah satu yang diinginkan dari petani adalah keberpihakan pemerintah kepada petani kecil yang tiada memiliki tanah.” terangnya.

Senada dengan itu, Kepala Desa Tumbang Samui, Yanto B. Soepa membeberkan kekuatiran akan terjadinya konfilik jika perkebunan Sawit tak dihentikan. Sehingga dia juga mengimbau masyarakat agar memulai menanam benih pangan lokal di sekitar pekarangan tak jauh dari rumah, sebagian hasil bisa dijual sebagian bisa untuk makan sehari-hari.

“Saya kuatir akan menjadi konflik suatu hari nanti. Kita mulai dari hal yang kecil tidak perlu besar dulu, menanam tumbuhan pangan di sekitar pekarangan rumah karena itu selain bernilai ekonomi kita tidak tergantung pada paman (penjual sayur), pungkas Yanto B. Soepa. //

Ikuti Kaltengbicara.com di Google News untuk dapatkan informasi lainnya.

banner 325x300
pesona haka kalibata
error: Content is protected !!
Verified by MonsterInsights