KaltengBicara.com – Jakarta. Sebelum menajamkan mata untuk membaca ini, mari sejenak kita dipimpin untuk mengheningkan cipta seperti kebiasaan kita. Didalam proses menunduk setiap kita diberi kebebasan untuk membayangkan apapun, tetapi aba-aba diawal mengarahkan kita untuk mengenang para pendahulu yang berjasa dalam upaya-upaya pembebasan, para martir gereja dan founding fathers GMKI.
Setiap orang juga dipersilakan untuk memejamkan mata atau membiarkannya tetap menyala tetapi disaat yang sama Dee Tamaela terusir. Dee Tamaela bukan saja tercerabut kerena posisinya sebagai Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) ke-II hasil kongres Surabaya tetapi identitas sebagai perempuan juga teralienasi.
Tentu tulisan ini sederhana tidak perlu menghunuskan isi kepala untuk sekeras-kerasnya menafsirkan, kita hanya perlu mengerutkan ingatan tentang hadirnya perempuan di GMKI mula-mula.
Seberapa dari kita mengenal dr. Dee Tamaela? Saya sempat melemparkan pertanyaan ini kepada teman-teman perempuan di pengurus cabang dan hampir Sebagian besar menjawab tidak mengenalnya. Kemudian pertanyaan ini saya ajukan kepada beberapa senior perempuan, beberapa mengenalnya ‘senior perempuan kita dek’ tandas mereka. Dari yang tidak tahu hingga yang abu-abu ingatannya, tentu itu juga menimpah saya. Pada akhir tahun 2020 saat mahasiswa se-Indonesia turun demonstrasi menuntut dicabutnya UU Cipta Kerja, saya menjumpai Dee Tamaela dalam syair puisi Rudi Fofid (Sastrawan Maluku).
Puisinya dibuat untuk saya mungkin ini penghiburan karena hampir seminggu saya tidak bisa jalan karena pundak dan dada saya penuh lebam. Bermula pada tanggal 7 Oktober masa aksi kami (GMKI, BEM UNIMA dan Cipayung Plus Minahasa) mendapatkan represif dari aparat. Alhasil saya bersama 16 kawan lainnya di tahan di polres Minahasa, naasnya saya juga harus di larikan ke Rumah Sakit Bethesda Tomohon karena pukulan yang bertubi-tubi menghantam saya. Sebagai ketua bidang kajian aksi dan pelayanan saya betanggungjawab penuh atas misi-misi pelayanan di tiga medan layanan GMKI, saya dipukul saat memakai kordon dan baret sehingga meninggalkan trauma yang cukup mendalam bagi saya secara pribadi dan trauma itu kembali muncul saat saya dikukuhkan sebagai PP GMKI masa bhakti 2022-2024, saat kordon dikalungkan tiba-tiba tubuh saya gemetar dan dingin. Saya sadar inilah salib baru, jalan Via Dolorosa tetapi mengimani dibalik pengutusan ada penyertaan.
Berjumpah dengan Dee Tamaela dipersimpangan tragedi lalu ditangan seorang sastrawan diolah menjadi syair, sehingga atas dasar itu saya pergi menjelajah diruang maya. Tak banyak orang bercerita tentang dr. Dee, saya hanya menemukan potong-potongan namanya dibawah nama besar kakaknya Dien Tamaela.
Siapa Dee Tamaela ?
Siapa yang sangka si Dee menjadi salah satu yang membujuk Jakarta dengan suaranya ? “Butje Tahaela biking komposisi musik, beta deng kawan-kawan mahasiswa manyanyi, Dien menjadi pemain piano mengiring kami,” cerita Dee Tamaela. Menurut tulisan Rudi Fofid di MalukuPost.com yang bertajuk: ’Gadis Maluku Dien Tamaela di Tengah Revolusi, Melawan dengan Tuts Piano’ bahwa Dien, Dee dan kawan-kawan mahasiswa Prapatan 10 layak dihormati dan dikenang atas kehadirannya pada satu momentum pasca Indonesia merdeka.
“Bagi orang Maluku yang bekerja sebagai tentara KNIL akronim dari Koninklijke Nederlands(ch) Indische Leger, atau biasa disebut Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang tetap loyal kepada pemerintahan Belanda, Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta oleh Soekarno-Hatta adalah kecelakaan sejarah” tulis Rudi Fofid. Setalah itu ancaman serta itikad balas dendam dari kalangan warga Batavia terang-terang diucapkan dan terdengar langsung oleh perempuan-perempuan Maluku di Batavia. Lalu merebaklah aksi balas dendam, tetapi warga Batavia tidak mengenal mana warga Maluku yang nasionalis dan mana yang pro pada KNIL, pada prinsipnya semua orang Maluku adalah antek Belanda.
Sepanjang Agustus hingga September, teror kepada warga Maluku terus berlangsung mulai dari kekerasan kata-kata hingga serangan fisik menimpa orang Maluku di Batavia. Rumah dilempari batu hingga dibakar, membuat gubernur Maluku J. Latuharhary frustasi. J. Latuharhary kemudian menemui mahasiswa dan meminta pendapat kaum muda. “tidak ada yang bisa kita lakukan. Kita kalah masa, kita tidak punya senjata. Tidak memungkin melakukan perlawanan. Satu-satunya yang kita punya adalah kesenian. Kita bisa andalkan itu,” seru mahasiswa kedokteran Butje Tahalele.
Dee Tamaela menyerukan seruan damai dari radio di Jakarta katanya : “Kami adalah Mahasiswa Maluku di Jakarta. Terimalah persembahan lagu-lagu Maluku dan lagu-lagu perjuangan. Sekali merdeka tetap merdeka,” ungkap Dee. Beberapa minggu melantunkan lagu-lagu dalam irama Maluku di siaran Budaya Radio Republik Indonesia (RRI), akhirnya mendamaikan kehidupan orang Maluku di Batavia.
Lebrin Agustien Tamaela (Dee Tamaela), perempuan Maluku kelahiran Malang 21 Agustus 1926 juga menorehkan namanya sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia tahun 1950-1956. Sebagai aktivis dr. Dee pun mendapat kesempatan mengikuti kegiatan internasional (kongres pemuda Kristen dunia ) ke-2 di Oslo Norwegia.
Tidak hanya itu pada tanggal 9 Februari 1950, setelah Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) dan Christelijke Studenten Vereening (CSV) melebur menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) diketuai oleh J. Laimena dan setelah kongres pertama tahun 1951 (Ketua Umum J.E. Siregar) maka kongres kedua di Surabaya berlangsung, kemudian Dee Tamaela terpilih menjadi Ketua Umum sekaligus menjadi ketua umum pertama perempuan. Pada tahun 1956 Dee menyandang status dokter (Dokter perempuan pertama Maluku) selain itu ia menjadi bagian dari radiologi anak (setelah menamatkan magisternya di Munchen, Jerman tahun 1963-1966). Dr. Dee telah berpulang pada tahun 2017 dalam usianya yang ke 91 tahun.
Menjumpai Dee Tamaela
Sebelumnya saya menceritakan bagaimana saya berjumpa dengan dr. Dee, saya menjumpainnya lewat sebuah syair yang diolah oleh penyair atas tragedi. Begitupun Ketika tragedi bagi orang-orang Maluku pasca kemerdekaan di Batavia, dari suara dan irama Dee dan kawan-kawan mahasiswa Prapatan 10 menjumpai warga Batavia. Tetapi mungkinkah Dee akan bernyanyi Ketika mengunjungi Salemba 10 hari ini ?, atau sebaliknya ia mengutuki generasi hari ini? (Sebagai perenungan Bersama), barangkali Dee akan mengasuh dibandingkan cepat-cepat memukul.
Sebenarnya diawal paragraph saya coba menampar wajah kita semua, termasuk saya. Dee Tamaela terlupakan dalam ingatan sejarah serta tak dianggap barangkali dia bukan Founding Fathers sebab dia perempuan. Selanjutnya buahnya kemana-mana, sebut saja kekerasan seksual berturu-turut di arena kongres dan kejadian lainnya yang menimpa kader perempuan GMKI serta kekerasan simbolis lainnya terus terjadi, tetapi dibalik keputusasaan ada harapan-harapan yang terus lahir, dari rahimnya GMKI melahirkan banyak kader perempuan dan tentu menduduki posisi-posisi strategis. Atas dasar itulah Dee Tamaela menjadi teladan yang harus diheningkan juga setiap kali kepala menunduk di altar prosesi, supaya riak-riak dalam arak-arakan ini tidak menghanyutkan kita pada Hasrat akan kuasa yang panjang.
Dee Tamaela mengasuh kita dalam kepedulian, melawan tanpa kekerasan. Barangkali Ethics of care (Etika Kepedulian) yang ia pakai dalam melihat serta menghadapi realitas, harus kita lakukan, selanjutnya dari Rudi Fofid (sastrawan) kita berhikmat bahwa lewat syair kita bisa mengingatkan generasi esok agar tidak tidur pada lupa yang panjang. /// #Opini
Penulis : Asterlita Tirsa Raha (Sekretaris Fungsional Bidang Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Masa Bakti 2022-2024)