KaltengBicara.com, Opini – Jakarta. Melihat situasi Indonesia yang majemuk dengan kompleksifitas yang cukup tinggi dalam kehidupan politik masyarakat, maka sudah barang tentu pemilu yang diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu tidaklah mudah.
Dalam perkembangannya, pemilu di Indonesia memiliki dua sistem. Pertama, sistem proporsional tertutup (closedlist PR) dengan mekanisme pemilihan oleh rakyat hanya pada partai.
Cara kerja sistem tersebut adalah pemilih memberikan suaranya hanya dengan mencoblos gambar partai, suara partai untuk kesempatan pertama akan diberikan kepada calon nomor urut teratas. Kedua, sistem proporsional terbuka (open-list PR) dengan cara kerja sistem ini pemilih memilih langsung wakil-wakil legislatifnya.
Proporsional Representasi System (Sistem Proporsional Terbuka) juga merupakan pertimbangan untuk mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan mereka.
Upaya perekrutan massa dilakukan dengan cara pragmatis, membentuk tim jaringan terluas bertugas memenangkan calon, dan melengkapi mereka dengan sejumlah uang.
Sedangkan Sistim pemilu proporsional tertutup merupakan pemberian suara dengan mencoblos partai politik (parpol). Dalam sistem proporsional terbuka yang dipakai sekarang ini sedang di judicial review.
Adapun beberapa aspek yang kemudian menjadi dasar pemikiran terhadap kedua system pemilu ini antara lain :
- Akan hilang kedaulatan rakyat akibat dari putusnya ruang interaksi dan komunikasi politik antara masyarakat dengan partai politik baik dalam memutuskan calon eksekutif dan legislatif. Namun ketika kita mendasari pada UU Nomor 2 tahun 2011 tentang parpol bawah parpol mewajibkan proses uji publik dan transparansi parpol dalam mengusung calon-calon. Jangan kemudian parpol jau lebih mengedepankan atau mengutamakan kepemilikan modal menjaukan dari representatatif kepentingan publik.
- Akan siknifikan pergerakan jual beli suara. Suara yang telah dibelih oleh calon secara otomatis menghilangkan kedaulatan rakyat. Sebab sikap politik dalam memilih tidak lagi didasarkan pada kepentingan banyak orang tapi pada kepentingan jasa uang dari calon-calon legislatif dan eksekutif.
- Akan terjadi intimidasi oleh aparat terhadap pemilih, seperti implementasi program bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak orang miskin namun akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa. Faktanya bahwa banyak orang miskin yang memenuhi syarat sebagai penerima bansos tapi tidak terdaftar sebagai pihak penerima bansos, atau ada yang terdaftar tapi juga tidak bisa menerima karena perbedaan pilihan politik dalam pemilu dan pilkada.
- Kehilangan kedaulatan pemilih terjadi akibat mobilisasi terhadap pemilih yang berstatus sebagai pemilih pemula dan aparatur sipil negara. Dalam situasi ini sering mendapat ancaman untuk ASN akan ditunda kenaikan pangkat dalam birokrasi pemerintahan daerah ataupun dimutasikan pada wilayah perbatasan atau pedesaan, sedangkan pada pemilih pemula kerap dijanjikan seperti uang dan janji-janji lainnya yang tidak perna sama sekali diwujudkan.
Berdasarkan dengan beberapa aspek penting diatas akan memungkinan terjadi minimnya referensi pemilih terhadap kontestan pemilu dan tujuan pemilu itu sendiri.
Proposional terbuka tertutup ada plus minusnya ada untung dan ruginya semuanya berlandaskan pada kepentingan banyak orang, namun dengan situasional demokrasi di indonesia sekarang ini lebih memungkinkan jika system pemilu proposional terbuka, itu yang kemudian menjadi representatif karena sampai sekarang ini tidak ada langkah alternatif kongkrit yang menjadi pengganti dari kedua system ini.
Partai politik perlu menyadari secara terbuka kalau dalam memakai system terbuka tertutup pun semua hanya untuk kepentingan rakyat, jangan kemudian partai politik memanfaatkan situasi ini, parpol dituntut untuk tetap berada pada reel yang benar demi pengimplementasian kepentingan banyak orang. // (Opini/Nad).