KALTENGBICARA.COM – KUTAI BARAT. Telah terjadi penangkapan secara paksa disertai tindak kekerasan yang diduga tidak sesuai prosedur di Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur oleh Polres Kutai Barat pada Sabtu, 25 Maret 2023.
Aparatur negara yang bersemboyan Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat ini seharusnya menjadi garda terdepan menjaga rakyat atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, pada Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Dua belas pejuang masyarakat adat Kampung Dingin serta satu anak di bawah umur dan satu orang advokat selaku kuasa hukum masyarakat ditangkap paksa tanpa surat perintah penangkapan hingga ditersangkakan akibat mempertahankan hak atas tanah dan sungai serta ruang hidup mereka dari kerusakan industri ekstraktif batubara PT Energi Batu Hitam (EBH).
Tindakan kriminalisasi oleh Kepolisian yang diduga didalangi perusahaan ini adalah bukti ancaman terhadap kehidupan damai masyarakat di dua Kecamatan lainnya, yakni Muara Lawa dan Siluq Ngurai. Kerusakan yang telah terjadi dan paling parah berada di kampung Dingin dan Lotaq di Kecamatan Muara Lawa.
Dalam penangkapan Polres Kutai Barat menjerat dengan menggunakan pasal 162 Undang-undang Minerba, karena dianggap menghalang-halangi dan merintangi kegiatan usaha pertambangan, ini adalah pasal pahit kriminalisasi terhadap rakyat pejuang HAM dan Lingkungan Hidup yang pernah diuji, berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Review UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sangat mengecewakan pemohon dan juga rakyat pejuang HAM dan Lingkungan Hidup. Putusan MK Nomor 37/PUU-XIX/2022, Tanggal 29 September 2022 ini memperkokoh kepentingan perusahaan tambang sekaligus menghancurkan ruang hidup dan keselamatan masyarakat adat kampung Dingin.
Perjuangan mempertahankan tanah dan sungai oleh masyarakat adat Kampung Dingin bukanlah tindakan kejahatan, apalagi merintangi aktivitas perusahaan. Kepolisian seharusnya menjadi pihak yang memfasilitasi pemenuhan hak atas tanah dan lingkungan hidup yang bersih serta bebas dari pencemaran, sebagaimana dilindungi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Seharunya aparat dan institusi Kepolisian menjadi pihak penengah yang mampu memfasilitasi masyarakat dalam berjuang mempertahankan hak atas tanah” ucap Saiduani Nyuk selaku narahubung dari Aman Kaltim.
Dan beberapa diantaranya disangkakan dengan Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951, akibat masyarakat adat yang membawa alat tradisional Mandau saat berada di atas tanah dan kebun mereka. Sementara Undang-Undang tersebut sangat tidak relevan jika diterapkan di Kalimantan Timur terkhusus di Kabupaten Kutai Barat, sebab mandau merupakan salah satu bagian dari budaya dan tradisi masyarakat adat serta sebagai pusaka warisan leluhur, bahkan dalam pertunjukan tarian maupun sebagai peralatan yang biasa dibawa kemana-mana dalam pertemuan publik maupun beraktivitas di wilayah adat.
Saiduani Nyuk dari Aman Kaltim menilai penangkapan semena-mena ini adalah ancaman laten bagi perjuangan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang sejatinya dilindungi oleh Undang-Undang. Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan sangat rentan dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum (kepolisian) dengan berbagai bermacam dalil yang dipaksakan, patut diduga upaya ini untuk melanggengkan perusahaan yang merusak lingkungan dan telah melakukan pelanggaran HAM berupa perampasan hak atas tanah serta wilayah kelola masyarakat adat.
“Bagi kami penangkapan semena-mena ini adalah ancaman laten bagi perjuangan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang sejatinya dilindungi oleh Undang-Undang. Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan sangat rentan dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum (kepolisian) dengan berbagai bermacam dalil yang dipaksakan, patut diduga upaya ini untuk melanggengkan perusahaan yang merusak lingkungan dan telah melakukan pelanggaran HAM berupa perampasan hak atas tanah serta wilayah kelola masyarakat adat.” tegasnya.
Jika mandau dipersoalkan menjadi dasar penangkapan serta upaya kriminalisasi akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat adat di Kalimantan Timur khususnya suku asli Kalimantan maka di masa depan puluhan ribu orang asli Kalimantan Timur akan bersiap ditangkap secara massal, karena hampir seluruh masyarakat dayak menyimpan mandau di rumah-rumah dan lainnya.
“Mandau itu simbol dari semangat perjuangan dalam mempertahankan apa yang hak milik masyarakat adat khususnya dayak, ini akan jadi preseden buruk kedepan” tambahnya melalui pesan tertulisnya pada Selasa, (04/04/20223).
Atas tindakan yang terjadi KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK KEMANUSIAAN KALIMANTAN TIMUR yang terdiri dari AMAN Kalimantan Timur, WALHI Kalimantan Timur, POKJA 30, Perkumpulan NURANI PEREMPUAN, YLBHI-LBH Samarinda, JATAM Kalimantan Timur, JPIC SVD Distrik Kalimantan Timur, JPIC Kalimanta, SILABAN & PARTNERS dan KKP-KEUSKUPAN AGUNG Samarinda menyerukan solidaritas mereka, yakni sebagai beriku. Pertama, mengecam tindakan represif Kepolisian Resor Kutai Barat dan menangkap paksa serta menetapkan status sebagai tersangka warga Masyarakat Adat Kampung Dingin dan beberapa Aktivis Pejuang HAM serta Pengacara Pendamping dalam rangka memperjuangkan haknya ; kedua, mengecam upaya-upaya beberapa pihak yang menekan korban di dalam tahanan dan memaksa agar mereka menerima perdamaian dengan syarat kasus dihentikan dengan tidak boleh menuntut hak yang selama ini mereka perjuangkan; ketiga, mendesak Kepolisian untuk membebaskan dan mencabut status tersangka 14 (empat belas) orang yang masih ditahan oleh Kepolisian Resor Kutai Barat; dan Cabut izin operasi PT. Energi Batu Hitam yang berada di wilayah masyarakat hukum adat Kutai Barat.
Melalui pers rilisnya nama-nama yang ditangkap dan dijadikan tersangka sebanyak 14 orang, berikut nama-namanya : Dominikus Gusman Manando Anak dari Maring (33 tahun), Maring Anak dari Lale (71 tahun), Gabriel Gilbert Rio Anak dari Dolson Dondang (23 tahun), Sales Setiadi Anak dari Simon Umum (25 tahun), Nriko Hartian, Anak dari Libis (52 tahun), Danang Anak dari Tanjong (37 tahun), Ferdinan Salvino Ling Anak dari F. Weli Ling (51 tahun), Misen Anak dari Tanjong (54 tahun), Priska Anak dari Maring (47 tahun), Fransiskus Anak dari Maring (46 tahun), Benediktus Anak dari Paulus Jutir (39 tahun), Andi Saputra (anak di bawah umur), Sastiono Kesek, S.H., LL.M (Advokat/Kuasa Hukum Masyarakat Adat Kampung Dingin) dan Erika Siluq (38 tahun). // (R/Ita).