KALTENGBICARA.COM, OPINI – JAKARTA. Tahun politik 2024 adalah momentum kenegaraan. Perhelatan demokrasi 5 (lima) tahun tersebut merupakan arena pertarungan para politisi.
Media cetak dan elektronik akhir-akhir ini pun ramai. Berhamburan foto dan narasi para calon baik calon Presiden maupun calon Legislatif.
Ironisnya, kita jarang mendengar narasi tentang kalah. semua kandidat menginginkan menang. Pun, segala daya, upaya strategi jitu dimainkan.
Narasi propaganda terus dipertontonkan yakni, calon A lebih baik dari pada calon B dan seterusnya. Semua tidak lain adalah strategi meraut dukungan konstituen (pemilih).
Cara- cara tersebut lazim dan terpolarisasi dalam setiap hajatan politik. Ini tentu adalah sikap yang sebetulnya termanifestasi dalam setiap gerak juang para politisi.
Absennya narasi kalah dalam momentum politik mensyaratkan bahwa proses demokrasi akan berjalan alot dan tentu penuh dengan intrik dan lika liku.
Nampaknya dalam pengamatan sepekan belum ada kandidat atau politisi bahkan partai politik yang menggaungkan narasi kalah dalam momentum politik menuju 2024. Ya, karena memang secara prinsip pertentangan dengan nilai-nilai perjuangan mereka.
Ironisnya, dalam dinamika politik praktis, politisi kalah selalu menyimpang segudang persoalan. Penerimaan atas kekalahan politik adalah suatu kecelakaan. Padahal, merupakan fakta politik yang terjadi disetiap momentum.
Menang adalah keharusan, kita lupa bahwa demokrasi elektoral mensyaratkan bahwa tidak semua akan dipilih dan duduk sebagai pejabat publik.
Narasi penerimaan atas kekalahan politik akan menjadi racun yang menyakitkan sebelum dan pascakontestasi.
Dampaknya, arena yang seharusnya menjadi pertarungan gagasan diganti dengan kampanye hitam (black campaign), politik identitas, politik uang dan politisasi agama.
Przeworski (2000), menegaskan bahwa suatu sistem tidak dapat benar-benar didefinisikan sebagai demokrasi sampai lebih dari satu sisi mengalami proses politik yang di dalamnya mengakomodasi peristiwa menang dan kalah yang menandai sebuah pergantian kekuasaan politik secara stabil.
Sikap mengakui kekalahan adalah pelajaran dan fakta politik yang harus diterima sebagai bentuk pendewasaan politik.
Narasi tersebut harus dipraktekan sebagai bentuk konsistensi diri untuk mendukung proses demokrasi substansial. Sejak awal harusnya menjadi bel pengingat bagi mereka yang akan ikut dalam pertarungan politik praktis. Sehingga, ruang demokrasi menjadi stabil.
Sebab demokrasi yang stabil selalu mampu meminimalisir ketegangan dan konflik. Kalah dan menang harus memiliki pandangan yang mendalam tentang demokrasi itu sendiri sehingga tidak saling memunggungi.
Artinya, sejak dini “menang kalah” adalah catatan bersama. Sehingga tidak menghalalkan praktek politik kotor.
Oscar Diego Bautista dalam Ética Y Política: Valores Para Un Buen Gobierno (2007) menyampaikan bahwa memikirkan diri sendiri dan bukan orang lain adalah karakteristik individu modern. Sebuah masyarakat tanpa sumber daya etis menghasilkan transformasi dalam perilaku anggotanya berdasarkan anti-nilai.
Artinya, prinsip etis seharusnya menjadi jembatan pengingat seseorang dalam menyambut hajatan pesta demokrasi 2024.
Penerimaan terhadap menang dan kalah seharusnya menjadi lonceng pengingat bersama. Ini penting, biar publik dicerahkan. Yakni, menang kalah adalah pilihan. Tinggal bagaimana masing-masing kita memaknainya.
Pun, ruang publik harus di isi dengan gagasan dan ide, bukan hujatan kebencian.
“Sebab politik bukanlah alat kekuasaan, melainkan sebagai suatu etika untuk melayani” Johannes Leimena (Pendiri GMKI). Tak heran bila dikenal sebagai politisi jujur dan berintegritas.
Demokrasi tidak akan berjalan sukses tanpa etika. Keduanya bagaikan dua mata uang. Karena itu ketika salah satunya hilang, visi menjadi tidak lengkap dan nilainya tidak ada.
Oleh karena itu, sebagai bentuk konsistensi terhadap demokrasi yang etis, momentum politik 2024 harus digaungkan sebagai bentuk revitaliasi konsep dan praktik berpolitik kita.
Bahwa kalah menang dalam kontestasi politik adalah hal yang lumrah dan merupakan realitas politik bukan juga akhir dari perjuangan politik.
Ini penting, agar supaya membantu mengarahkan para politisi melihat jabatan publik sebagai panggilan jiwa, dengan tidak menggunakan segala cara untuk menubruk nurani dan moral serta prinsip etik yakni politik beradab.
Dengan demikian, harapan bersama kedepan proses demokrasi akan terus bertransformasi menuju demokrasi yang sehat dan bermartabat. Ruang publik demokrasi menjadi terarah karena di isi dengan pertukaran ide dan gagasan. // (Frp)
#opini