KALTENGBICARA.COM – JAKARTA. Bertempat di Café Kantin Kendal Menteng, Jakarta Pusat Minggu (25/6/2023). Diskusi ini diselenggarakan oleh Komunitas Literasi Nusantara, serta turut dihadiri oleh para narasumber hebat yaitu Bapak Benny Rhamdani selaku Kepala BP2MI RI, Bapak Fransiscus Go selaku Praktisi Dan Pengusaha Asal NTT dan Ibu Maria Goreti Ana Kaka selaku Penggiat Media Narasi serta berbagai komunitas pemuda di NTT.
Diskusi publik dipandu oleh moderator Mayo De Quirino dan Hostnya Karmila Floriani Daro.
Diskusi Publik ini dibuka dengan opening speed oleh Founder Komunitas Literasi Nusantara, Ferdinandus Wali Ate, memulai opening speed saya hari ini dengan sebuah pertanyaan yang mendasar: Apakah kita benar-benar hidup dalam dunia yang adil dan bebas dari eksploitasi manusia? Sayangnya, kenyataannya masih jauh dari harapan kita. Perdagangan manusia, sebuah kejahatan yang kejam dan melanggar hak asasi manusia, terus mengintai di balik bayang-bayang kehidupan kita.
Perdagangan manusia adalah hal merenggut masa depan yang cerah dan martabat manusia yang tak berdosa.
Saya percaya bahwa kita dapat menghadapi tantangan ini dan menciptakan solusi jangka panjang yang efektif dalam melindungi dan menegakkan hukum terhadap korban perdagangan manusia. Kita harus mengambil langkah konkret untuk melawan kejahatan ini dan memberikan perlindungan yang berkelanjutan bagi mereka yang terjebak dalam perangkap ini.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani memaparkan, realita 423 Pekerja Migran Indonesia di NTT yang meninggal tiap tahunnya, karena kejahatan penempatan nonprosedural yang berujung pada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berdasarkan data, bahkan pada tahun 2023, terdapat 38 jenazah yang ditangani BP2MI sejak Januari 2023.
“Kejahatan TPPO adalah kejahatan luar biasa yang telah menjadi isu global. Bicara tentang global, bayangkan, regulasi keluar-masuk barang dagangan saja lebih ketat, daripada regulasi penempatan kerja luar negeri, padahal mereka ini manusia, bukan barang,” tegasnya.
NTT sebagai salah satu provinsi dengan korban TPPO terbesar setelah Jawa Barat, dianggap Benny, masih mendapat perlakuan kurang adil dari negara. Menurutnya, sosialisasi tentang bahaya TPPO masih bersifat Jawa sentris, atau terpusat dan belum merata.
“Peluang kerja dengan gaji yang besar terbuka lebar di luar negeri. Jika calon Pekerja Migran Indonesia ingin berangkat secara prosedural dan aman, jalurnya pun tersedia. Tapi informasi ini masih tertutup di masyarakat NTT,” ujarnya.
Meskipun masih banyak koreksi dari pemerintahan Indonesia, Benny mengaku, bahwa BP2MI telah berbenah diri untuk benar-benar menganggap Pekerja Migran Indonesia pahlawan devisa, layaknya pahlawan sebenarnya.
“Dari pembuatan fasilitas seperti lounge, help desk, fast track, bagi Pekerja Migran Indonesia, sampai dengan kemudahan pembiayaan penempatan melalui KUR. Bahkan saya mengundang Kemenko Polhukam, Mahfud MD untuk menabuh genderang perang terhadap sindikat perdagangan manusia, yang dicanangkan di Batam April lalu,” tegasnya.
Praktisi dan pengusaha asal NTT, Fransiscus Go, membenarkan pernyataan Benny. Menurut pengamatannya, Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci mengatasi TPPO dari hulunya.
“Banyak korban cenderung dari pemuda-pemudi usia produktif yang tidak terdidik, tidak terlatih, serta tidak mempunyai pengalaman. Dari situ, mereka rentan menerima rayuan bujukan calo untuk kerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar,” ungkapnya.
Pendidikan yang dimaksud Fransiscus, bukan hanya pendidikan formal seperti sarjana, tapi dapat juga berupa pendidikan keahlian spesifik seperti mekanik, teknisi, dan pendidikan vokasi.
“Pemuda-pemudi usia produktif tumbuh terbentuk 1.5 juta tiap tahunnya. Jika tidak dilatih dan dididik dengan benar, bayangkan bagaimana calo dan sindikat menganggap mereka sebagai target yang empuk,” terangnya.
Sementara itu, Penggiat Media, Maria Goreti Ana Kaka, menyatakan bahwa media dapat menjadi salah satu instrumen perang terhadap TPPO. Melalui informasi yang dikemas secara menarik, Ia yakin efek kesadaran dan kewaspadaan terhadap TPPO dapat menyebar luas.
“Pemuda-pemudi usia produktif dapat menyerap informasi secara efektif melalui berbagai media. Media sosial dapat membentuk opini publik di kalangan pegiat digital, media konvensional seperti televisi dan radio dapat mempengaruhi masyarakat yang belum digital, serta media personal seperti teman, kerabat, atau komunitas dapat mempengaruhi individu di lingkungan yang akrab,” pungkas Maria yang juga sebagai praktisi media Narasi. //