Diri Perempuan Timur
‘Dahulu Kartini mengkritik perempuan pribumi yang terkungkung dalam pingitan sedangkan hari ini Kartini menjadi ‘penjajah’ dan memenjarakan kami dalam bayangannya’
KALTENGBICARA.COM – JAKARTA. Kartini itu bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi narasinya merupakan sosok hidup. Itulah sebabnya sebagai sebuah wacana, Kartini patut dicurigai ketika menjadi laten baru yang mendefinisikan tubuh perempuan dan menjadi tolak ukur apa yang disebut emanispasi. Standar kemajuan yang rapuh, haruskah kami (perempuan timur) berkonde ? pakai kebaya, lalu saling berbalas surat yang isinya mengkritik tatanan biar kami disebut berkemajuan?
Sejak awal tidak banyak yang berani mempertanyakan kenapa Kartini menjadi simbol emansipasi perempuan Indonesia. Itu pertanda bahwa politik etis Belanda berhasil, hanya beberapa orang yang punya kesadaran untuk mempertanyakan motif dibalik itu, salah satunya Zen R.S (Esais dan Novelis). Pada tahun 2013 ia menggemparkan publik atas suguhan yang diterbitkan di Newsroom Blog di kanal berita Yahoo! Indonesia yang terbit berturut-turut pada 16 April 2013 – 19 April terkait political interst yang tinggi dibalik penetapan Kartini, ia menulisnya dalam 4 tulisan diantaranya : “Kartini bukan Pahlawan”, “Kartini ‘Bikinan’ Belanda”, “Kartini ‘menjadi’ Gerwani”, dan “Kartini Sebagai Kuntilanak Wangi”.
Memang tidak bisa disangkal bahwa setiap kali tanggal 21 April, ingatan bangsa Indonesia setidak-tidaknya tertuju pada satu momentum kebangkitan emansipasi perempuan Indonesia yang konon katanya dipelopori oleh sosok Kartini. Seperti tatakrama ketika melakukan sebuah perayaan, Hari Kartini biasanya diperingati dengan ritual pemanggilan jiwa, lazimnya berharapan supaya jiwa R.A Kartini merasuki tubuh semua perempuan Indonesia agar serupa dengannya.
Semua orang mencari mantra terbaik untuk memuji R.A Kartini. Segala puja-puji terkitabkan baik lewat tulisan para penulis hingga lisan para penutur yang gagal mendeteksi buntuh dari meng’Kartini’kan wajah perempuan Indonesia.
Apakah Kartini masih relevan sebagai simbol emansipasi ?
Kecurigaan terhadap wacana Kartini sebagai titik mulai untuk merobek kebakuan, baik dalam lembaran sejarah maupun dalam ingatan majemuk orang Indonesia. Tulisan ini akan berulang kali menyebut perempuan timur, seterusnya perempuan timur akan merujuk pada perempuan yang secara teritori mendiami gugusan pulau-pulau di Indonesia timur, atau yang paling sederhana merujuk pada diri perempuan yang mendiami jazirah pulau Halmahera dan sekitarnya.
Selanjutnya lahir atas kesadaran bahwa selama ini negara juga memfasilitasi wacana Kartini, terbukti berbagai perhelatan kenegaraan Kartini berulang kali menjadi simbol, kerap kali dalam berbagai Rancangan Undang-Undang yang katanya berkemajuan dan berpihak kepada perempuan pun berulang kali lalai merekam kebertubuhan perempuan timur, semuanya cenderung ke-Jawa-an dan bias urban.
Gerakan perempuan yang setia membawa semangat kemajuan Kartini pada akhirnya hanya akan mengseragamkan kebertubuhan perempuan, Kartini sang Raden Ajeng yang punya akses terhadap buku diwajarkan tetapi para perempuan timur yang juga punya peran pada domestik dituduh terbelakang dan melanggengkan patriarki.
“History is written by the Victors”
Winston Crunchill
Yang menulis sejarah itu biasanya yang menang, kemudian sudut pandang inilah menentukan penulisan sejarah. Dalam kasus ini, Kartini sengaja ‘dibikin’ oleh Belanda untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial mereka tidak kalah dengan Inggris di India dalam hal memajukan rakyat terjajah. Terbukti dua tahun sejak penerbitan surat-surat Kartini, orang-orang Belanda yang sedang giat-giatnya mempromosikan gerakan memajukan rakyat terjajah melalui pendidikan dengan segera membuat Yayasan Kartini, yang salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Dan peristiwa itu diliput secara besar-besaran oleh surat kabar bergengsi di Belanda.
Zen R.S juga menemukan arsip surat kabar Der Leeuwarder Courant (surat kabar yang terbit sejak 1752) yang melaporkan tentang Sekolah Kartini pada edisi Minggu, 21 Juli 1913 yang berjudul “Kartini Scholen”. Sejak itulah Kartini sebagai narasi mulai mencuat. Buku surat-surat Kartini diterbitkan terus-menerus dan juga terus diperbincangkan. Yayasan Kartini di Belanda bekerja dengan bagus untuk mempopulerkan narasi tentang Kartini ini.
Kartini telah dikultuskan sebagai narasi, kemudian disuntikkan dipikiran orang Indonesia dan tanpa terukur menjadi bayang-bayang yang menghantui. Kartini-pun menjadi cambuk untuk membuat perempuan patuh, untuk berpendidikan, untuk membaca, untuk menulis dan untuk melawan dan selain dari itu ia terbelakang.
Kartini itu Dongeng
Sejarah mencatat Belanda hanya menjajah Indonesia selama 350 tahun, tetapi gagal menghapus jejaknya, terbukti hingga sekarang politik etik Belanda masih mengendap dalam dan sudah tertancap dialam bawah sadar (subconscious) manusia Indonesia.
Kartini sebagai Citra emansipasi perempuan Indonesia ternyata membahayakan eksistensi diri perempuan di Timur. Tanpa mengukur jika Kartini tumbuh dalam kemewahannya sebagai Raden Ajeng, setiap waktu dia dicekoki teks-teks bacaan hingga lancang berbahasa belanda. Kartini pun mendapatkan kemewahan bergaul dengan anak-anak kolonial sehingga kalau bukan menulis apa yang bisa dilakukan perempuan kraton itu? Hari-harinya habis dilorong-lorong pengetahuan, bergulat dengan teks-teks pecerahan hingga menulis surat-surat yang kemudian diklaim dan diglorifikasi oleh Belanda.
Bagaimana dengan perempuan di timur Indonesia ? ternyata banyak yang tak kalah hebatnya dengan Kartini, tetapi panggung untuk mengglorifikasikan itu terbatas bahkan tidak ada. Jadi berhentilah mengglorifikasikan kartini, menaruhnya sebagai wajah perempuan Indonesia lalu perempuan desa yang tak punya peraga kerdil dan undur diri, seolah-olah menjadi perempuan patut berpendidikan dan sadar agar segambar dan serupa dengan Kartini. Dari mana kesadaran itu mekar ketika setiap harinya perempuan harus bangun lebih pagi dari matahari untuk menyiapakan isi perut kakak laki-laki atau bapaknya ke sekolah ?
“Bagaimana pun juga putri Jawa ini telah berbakti untuk membawa terang bagi pendidikan kepada saudara-saudara perempuannya di Indonesia. Tetapi setiap tahun pada tanggal 21 April para perempuan harus mengenakan pakaian daerah tradisional guna merayakan hari Kartini. Ayah saya, kalau ia melihat saya menggunakan sarung untuk pergi ke sekolah, suka berkata sambil berdengus bahwa pertama pakaian asli orang Minahasa dibuat dari kulit pohon; kedua sekolah pertama perempuan telah didirikan di Minahasa pada tahun 1881- ketika Kartini baru berumur 2 tahun, jauh di Jawa – jadi tidaklah dapat dikatakan bahwa terang pendidikan datang berkas jasanya (Marianne Katoppo; 2007).”
Tolong jangan terlalu melebih-lebihkan si ‘Kartini’, meski Kartin tidak bisa memilih jalan lahir dari pintu keninggratan tetapi Kartini secara sadar menikmati dan terbuka menggunakan itu sebagai karpet merah berbalas kata dengan kawan penanya si Stella. Kartini ‘menjajah’ perempuan Timur sebagai sebuah wacana dan mimpi yang rapuh. Begitu berbahaya menghadapi kenyataan bahwa Kartini tidak hanya di gantung didinding sekolah saja tetapi sabagai kuk dan tali sapi yg mengikat hidung perempuan timur. Mengarahkan harus kemana dan bagaimana, agar tercerabut dari keterbelakangan.
Perempuan timur terus menghadapi stigma terhadap konsep tubuhnya yang sesungguhnya merupakan hasil dari proses simbolik elemen di luar dirinya. Ia buka saja bergulat menghadapi stigma kebudayaannya saja tetapi juga terpenjarah dalam bayang-bayang Kartini.
Mengusir ‘Wacana Kartini’
Lalu apa yang luput dari kalkulasi bangsa ini terhadap kemajuan perempuan, barangkali Kartini dan perempuan timur sebagai subjek sama-sama diposisi terkekang tetapi habitus yang membentuk keduanya sangat berbeda. Semangat Kartini yang konon katanya mengandung emansipasi pun jika ditelisik sebagai arus feminis setidak-tidaknya telah tertinggal secara gerakan di abad 18 (Gelombang pertama Feminis).
Bagaimana perempuan secara formal terdefenisi itu gagal, apalagi definisi emansipasi perempuan terkerdilkan hanya pada wacana Kartini. Kegagalan untuk setia pada kepercayaan bahwa eksistensi setiap subjek itu berbeda, ia harus mengacu pada kebertubuhan setiap perempuan. Embel-embel kolonial dibalik wacana Kartini ini membuktikan jika perempuan didefinisikan dari bahasa kekuasaan, itu dibenarkan oleh Julia Kristeva bahwa perempuan tidak punya akses terhadap bahasa. Itulah sebabnya Kartini harus diwacanakan melampaui eksistensinya oleh pihak Belanda.
Bagi Julia Kristeva, perempuan tidak terdefenisikan, “Jika kita membuat satu penjelasan tentang perempuan, tidak mungkin tidak dalam definisi itu akan ada resiko menghapus kekhasannya. Kekhasan itu mungkin terkait dengan keibuan mengingat itulah satu-satunya fungsi yang membedakannya dari eksistensi jenis kelamin lain” (Kristeva,1984). Kenyataan itu berpuluh-puluh tahun kita jalani, Kartini menghapus kekhasan subjek lain yang seharusnya bisa eksis termasuk perempuan timur yang sampai hari ini bergelut dalam urusan domestik.
Pada akhirnya, ini bukan sinisme atas kiprah kartini. Ini upaya melepas jeratan jajahan wacana dari Kartini, atau paling sederhana mengembalikan Kartini pada noktah yang netral. Kartini harus dikembalikan sebagai subjek bebas tanpa embel-embel wacana, ia pun harus pulang pada Keraton agar perempuan timur tidak mengucilkan diri meratapi dirinya yang hanya jadi objek kritik selama ini. // Opini (R/Med)